Ali Bin Abi Thalib (Khulafaur Rasyidin Ke-4)



Sayyidina Ali kw dilahirkan pada Bulan Rajab, karena itu kita akan mengungkap sekelumit dari sisi kehidupan beliau.Sayyidina Ali adalah sepupu pertama Nabi Muhammad SAW. Ayahnya, Abu Thalib dan ayah Nabi SAW, Abdullah, adalah anak Abdul Muthalib dari satu ibu. Seperti nama istrinya, Ibu Sayyidina Ali juga bernama Fatimah. Fatimah adalah putri Asad putranya Hasyim yang terkenal itu, dan Asad adalah saudara Abdul Muthalib. Jadi ayah dan ibu Sayyidina Ali adalah saudara sepupu.

Sayyidina Ali lahir pada tanggal 13 Rajab, sekitar 610 M, yakni 23 tahun sebelum Hijrah. Saat Ali lahir, ayahnya dan saudara sepupunya, Nabi Muhammad SAW sedang bepergian ke luar kota Makkah. Ibunya memberi nama Asad dan Haidar. Ayahnya menamainya Zaid. Tapi ketika Nabi SAW pulang, beliau merawat sepupu kecilnya ini dan menamainya Ali, dan mengatakan bahwa ini adalah nama yang ditetapkan Allah untuknya. Diantara sekian kunyah-nya (nama panggilan yang mengungkapkan rasa hormat), yang paling terkenal adalah Abul Hasan, Abus Sibtain dan Abu Turab. Gelar-gelarnya adalah Murtadha (yang terpilih), Amirul Mukminin (Pemimpin kaum Mukmin), Imamul Muttaqin (Imam orang-orang bertakwa).

Ibnu Abil Hadid, pensyarah kitab Nahjul Balaghah mengutip perkataan Ibnu Abbas. Kata Abbas, “Pernah aku bertanya kepada ayahku: ‘Ayah, sepupuku Muhammad memiliki banyak anak, yang semuanya meninggal ketika masih kecil, siapa diantara mereka yang paling dicintai?’ Ayahnya menjawab, “Ali bin Abi Thalib.” Aku berkata, “Ayah, yang aku tanyakan tentang anak-anaknya?” Dia menjawab, “Nabi Muhammad SAW mencintai Ali lebih dari mencintai seluruh putranya. Ketika Ali masih kecil, aku tak pernah melihat dia terpisah dari Muhammad barang setengah jam sekalipun, kecuali kalau Nabi SAW bepergian untuk beberapa urusan. Aku tidak pernah melihat seorang ayah mencintai anaknya sebesar Nabi SAW mencintai Ali dan aku tidak pernah melihat seorang anak sedemikian patuh, sedemikian lengket dan mencintai ayahnya seperti Ali mencintai Nabi SAW.”

Ali mulai bertindak sebagai pengawal Nabi SAW bahkan ketika usia 14 tahun. Para pemuda Quraisy, atas anjuran orang tua mereka, sering melempari Nabi dengan batu. Ali memenuhi tugas sebagai pembela Nabi. Dia jatuhkan para pemuda itu, merobek hidung satu musuh, merontokkan gigi musuh lainnya serta membanting yang lainnya. Dia sering bertarung melawan orang-orang yang lebih tua darinya. Dia sendiri sering terluka, tapi dia tidak pernah meninggalkan tugas yang dia pilih sendiri. Selang beberapa hari, dia mendapat nama panggilan Qadhim (pembanting) dan tidak seorang pun berani melempar sesuatu kepada Nabi ketika Ali mendampinginya dan dia tidak akan pernah membiarkan Nabi pergi sendirian. Pengorbanannya pada malam menjelang hijrah dan perjungannya di seluruh medan tempur adalah bukti nyata kecintaannya yang amat mendalam kepada Nabi SAW.

Allamah Muhammad Mustafa Beck Najib, filosof Mesir terkenal dan Professor Studi Islam Universitas Al-Azhar, dalam bukunya Himayatul Islam, berkata: “Apa yang bisa dikatakan tentang Imam ini? Sangat sulit menjelaskan sifat dan watak personal Imam seutuhnya. Cukuplah kita sadari bahwa Nabi SAW memberinya gelar gerbang ilmu dan hikmah. Dia pribadi yang paling berilmu, paling berani dan orator ulung serta penceramah paling fasih. Ketakwaannya, kecintaannya kepada Allah, ketulusan dan ketabahannya dalam menjalankan agama adalah diantara derajatnya yang begitu tinggi sehingga tak seorang pun dapat bercita-cita untuk mencapainya. Dia politikus teragung karena membenci diplomasi dan mencintai kebenaran serta keadilan, kebijakan politiknya adalah sebagaimana yang diajarkan Allah. Dia dicintai semua orang, dan setiap orang memberikan tempat di hatinya untuk Imam. Dia orang yang memiliki karakter begitu unggul dan agung serta watak yang begitu luhur dan tiada tara, sehingga banyak ilmuwan yang takjub mempelajarinya dan membayangkannya sebagai manifestasi wakil Allah. Banyak di antara Yahudi dan Kristen yang mencintai dia, dan para filosof diatara mereka pun yang kebetulan tahu ajaran-ajarannya membungkukkan diri di depan lautan ilmunya yang tak tertandingi.”

Sejarawan Islam, Masudi dalam Sirah Al-Halabiyya, mengatakan: “Jika nama agung sebagai Muslim pertama, seorang kawan setia Nabi di pengasingan, kawan seperjuangan Nabi dalam menegakkan keimanan, sahabat karib Nabi dalam kehidupan dan saudara Nabi. Jika pengetahuan sejati tentang spirit ajaran-ajaran Nabi dan Al-Quran,jika penegasian ego diri dan penegakan keadilan, kejujuran, kesucian dan cinta akan kebenaran, kesemuanya layak mendapatkan keagungan, maka kita harus menganggap Ali sebagai yang paling terkemuka. Kita akan sia-sia mencari berbagai keistimewaan yang telah dianugrahkan Allah kepada Ali, baik dari kalangan pendahulunya kecuali Nabi Muhammad atau dari para penerusnya.” Masudi lalu berkata lagi: “Kesepakatan umum diantara para sejarawan dan teolog Muslim adalah bahwa Ali tidak pernah menjadi non-Muslim dan tidak pernah sekali pun menyembah berhala. Karenanya, pertanyaan kapan dia memeluk Islam, tidak dan tidak akan pernah muncul.”

Menikah dengan Sayyidah Fatimah

Sayyidina Ali menikah dengan Sayyidah Fatimah, putri Nabi SAW dari Sayyidah Khadijah. Dia bertunangan dengan Fatimah beberapa hari sebelum berangkat Perang Badar, tapi pernikahannya dirayakan tiga bulan setelahnya. Dari Sayyidina Ali, Fatimah memiliki 4 anak dan yang anak kelima (Muhsin) mengalami keguguran ketika masih berada dalam kandungan. Penyebab kecelakaan ini dan juga penyebab kematian Sayyidah Fatimah adalah peristiwa yang amat tragis dan menyedihkan dalam hidup mereka. Nama putra-putri mereka adalah Imam Hasan,Imam Husain,Sayyidah Zainab (istri Abdullah ibn Ja’far) dan Sayyidah Ummu Kultsum (istri Ubaydillah ibn Ja’far). Selama Fatimah hidup, Sayyidina Ali tidak menikahi wanita lain. Sepeninggal Fatimah dia menikahi Yamamah dan sepeninggal Yamamah, menikah lagi dengan seorang wanita bernama Hanafia, yang darinya Ali memiliki seorang anak bernama Muhammad Hanafia. Sayyidina Ali memiliki banyak anak yang beberapa diantaranya memiliki tempat tak tertandingi dalam sejarah kemanusiaan, seperti Sayyidina Hasan, Sayyidina Husain (Pahlawan Karbala),Sayyidah Zainab (Pembela Islam di Kufah dan Damaskus setelah Tragedi Karbala), Abbas (Panglima Tentara Husain) dan Sayyidina Muhammad Hanafia (Pahlawan dalam Perang Nahrawan).



Sikap Sayyidina Ali Kepada Musuh

Talha ibn Abi Talha bukan hanya musuh sengit Islam, tapi juga musuh Nabi SAW dan Sayyidina Ali. Upayanya untuk mencelakakan kedua orang ini serta misinya sudah menjadi fakta historis.Dalam perang Uhud, dia adalah pengusung panji pasukan Quraisy. Ali menghadapi dia dan berduel dengannya, menyerang dia dengan pukulan telak hingga terhuyung-huyung dan jatuh tersungkur. Ali meninggalkannya dalam keadaan terjatuh. Banyak panglima Muslim memerintahkan agar Ali menghabisinya, dengan mengatakan bahwa dia adalah musuhnya yang paling jahat. Ali menjawab: “Musuh atau bukan musuh, sekarang dia tidak berdaya, dan aku tidak bisa menyerang seseorang yang tidak berdaya. Jika dia bisa bertahan biarkan saja dia hidup selagi masih berumur.” Dalam Perang Jamal, di tengah pertempuran budaknya Qambar membawa sedikit air dan berkata: Tuanku, matahari amat panas dan Anda masih terus akan bertempur, meminum segelas air dingin ini bisa menyegarkan Anda? Dia melihat sekitarnya dan menjawab: “Bisakah aku minum ketika beratus-ratus orang mati terkapar dan sekarat karena kehausan dan terluka parah? Daripada membawakan air untukku, bawa sedikit orang dan kasih minum setiap orang yang terluka ini.” Qambar menjawab: “Tuanku, mereka semuanya musuh kita.” Dia berkata: “Mungkin mereka musuh kita, tapi mereka manusia. Pergilah dan rawat mereka.”

Waktu itu bulan Ramadhan, sudah tiba waktu shalat subuh. Masjid Kufah sudah penuh. Sayyidina Ali sedang sujud dan ketika mau mengangkat kepalanya, sebuah tebasan telak mengenai kepalanya yang membuatnya luka parah. Suasana di masjid menjadi gempar dan kacau. Pembunuh melarikan diri. Orang-orang berhasil menangkap dan membawanya ke hadapan Sayyidina Ali yang terluka dan bersimbah darah. Beralaskan sajadah Sayyidina Ali berbaring diatas pangkuan putra-putranya. Dia tahu tebasan itu sangat fatal dan dia tidak akan bertahan lagi. Tetapi ketika pembunuhnya digelandang ke hadapannya, dia melihat jerat yang memborgolnya terlalu kencang hingga menyayat dagingnya. Ali melirik kepada kaum Muslim dan berkata: “Seharusnya kalian jangan begitu kejam kepada sesama, kendorkan talinya, tidakkah kau lihat tali ini melukai dia dan membuatnya kesakitan.”



Peribadatan Sayyidina Ali

Sebagai hasil binaan langsung Rasulullah SAW, maka sifat-sifat Sayyidina Ali terbentuk persis seperti sifat-sifat Rasulullah SAW dalam semua seginya,baik ibadah, pemikiran maupun tingkah laku.Ia mengikuti jalan yang ditempuh Rasulullah SAW dan menapaki jejak-jejak langkahnya. Al-Qusyairi menuturkan dalam Tafsir-nya bahwa apabila datang waktu shalat, wajah Sayyidina Ali tampak pucat dan tubuhnya gemetar. Karena itu ada seseorang yang bertanya kepada beliau, mengapa begitu. Ali menjawab, “Telah datang waktu amanat yang dulu ditawarkan Allah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, namun mereka menolaknya, dan kemudian diterima oleh manusia sekalipun manusia ini lemah. Karena itu, aku tidak tahu apakah aku akan bisa memikul amanat itu dengan baik ataukah tidak.” Sulaiman ibn Al-Mughirah meriwayatkan dari ibunya, katanya, “Aku bertanya kepada Ummu Sa’id, seorang jariah Sayyidina Ali tentang Shalat beliau di bulan Ramadhan.” Ummu Sa’id menjawab, ”Ramadhan dan Syawal, sama saja. Beliau selalu shalat di sepanjang malam.”

Allah SWT begitu agung dalam pandangan Sayyidina Ali, sehingga ibadah yang dilakukan merupakan ungkapan dari rasa cinta dan kerinduan kepada-Nya. Beliau mengungkapkan hubungan dirinya dengan Allah melalui ucapannya yang berbunyi, ”Ilahi, aku tidak menyembah-Mu lantaran takut siksa-Mu, dan tidak pula berharap akan pahala dari-Mu. Tetapi aku menyembah-Mu semata-mata lantaran aku mendapatkan-Mu sebagai Dzat yang semestinya disembah.”

Sayyidina Ali Penghulu Para Sufi

Dalam sebuah buku yang berjudul Hilyah al-Awliya’, diceritakan sejarah para sufi (wali) dari seluruh zaman. Ali bin Abi Thalib menempati urutan pertama. Mengapa harus dimulai dari Ali bin Abi Thalib ? Bukankah sahabat itu banyak ? Itu disebabkan karena di dalam tasawuf, sahabat yang menjadi rujukan adalah Sayyidina Ali. Tokoh-tokoh tasawuf di seluruh negeri Islam bersumber kepadanya dan berhenti di hadapannya. Pada Ali-lah ilmu tarekat bersumber dan pada Ali-lah ilmu tarekat berhenti. Hal tersebut ditegaskan oleh Asy-Syibli, Al-Junayd, Abu Yazid al-Busthami, Abu Mahfuzh al-Kharkhi, dan lain-lain. Begitulah Sayyidina Ali! Sejarah agung sarat dengan peristiwa-peristiwa yang menggambarkan keluhuran budi dan perilakunya, keberanian dan keluasan ilmunya, keutamaan serta kemuliaannya.

Salam atas Wasyi Rasulullah, Salam atas penghulu Para Wali, Salam atas Putra Ka’bah, Salam atas Suami Putri Nabi, Salam atas Ayahanda Al-Hasan dan Al-Husain, Salam atasmu Wahai Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib KW

Warahmatullahi Wabarakatuh.










Kisah 1

Sid bin Musayyab menceritakan bahwa ia dan para sahabat menziarahi makam-makam di Madinah bersama `Ali. Ali lalu berseru, “Wahai para penghuni kubur, semoga dan rahmat dari Allah senantiasa tercurah kepada kalian, beritahukanlah keadaan kalian kepada kami atau kami akan memberitahukan kcadaan kami kepada kalian.” Lalu terdengar jawaban, “Semoga keselamatan, rahmat, dan berkah dari Allah senantiasa tercurah untukmu, wahai amirul mukminin. Kabarkan kepada kami tentang hal-hal yang terjadi setelah kami.” Ali berkata, “Istri-istri kalian sudah menikah lagi, kekayaan kalian sudah dibagi, anak-anak kalian berkumpul dalam kelompok anak-anak yatim, bangunan-bangunan yang kalian dirikan sudah ditempati musuh-musuh kalian. Inilah kabar dari kami, lalu bagaimana kabar kalian?” Salah satu mayat menjawab, “Kain kafan telah koyak, rambut telah rontok, kulit mengelupas, biji mata terlepas di atas pipi, hidung mengalirkan darah dan nanah. Kami mendapatkan pahala atas kebaikan yang kami lakukan dan mendapatkan kcrugian atas kewajiban yang yang kami tinggalkan. Kami bertanggung jawab atas perbuatan kami.” (Riwayat Al-Baihagi)



Kisah 2

Dalam kitab Al-Tabaqat, Taj al-Subki meriwayatkan bahwa pada suatu malam, `Ali dan kedua anaknya, Hasan dan Husein r.a. mendengar seseorang bersyair:

Hai Zat yang mengabulkan doa orang yang terhimpit kezaliman
Wahai Zat yang menghilangkan penderitaan, bencana, dan sakit
Utusan-Mu tertidur di rumah Rasulullah sedang orang-orang kafir mengepungnya
Dan Engkau Yang Maha Hidup lagi Maha Tegak tidak pernah tidur
Dengan kemurahan-Mu, ampunilah dosa-dosaku
Wahai Zat tempat berharap makhluk di Masjidil Haram
Kalau ampunan-Mu tidak bisa diharapkan oleh orang yang bersalah
Siapa yang akan menganugerahi nikmat kepada orang-orang yang durhaka.

`Ali lalu menyuruh orang mcncari si pelantun syair itu. Pelantun syair itu datang menghadap Ali seraya berkata, “Aku, ya Amirul mukminin!” Laki-laki itu menghadap sambil menyeret sebelah kanan tubuhnya, lalu berhenti di hadapan All. Ali bertanya, “Aku telah mendengar syairmu, apa yang menimpamu?” Laki-laki itu menjawab, “Dulu aku sibuk memainkan alat musik dan melakukan kemaksiatan, padahal ayahku sudah menasihatiku bahwa Allah mcmiliki kekuasaan dan siksaan yang pasti akan menimpa orang-orang zalim. Karena ayah terus-menerus menasihati, aku memukulnya. Karenanya, ayahku besumpah akan mendoakan keburukan untukku, lalu ia pergi ke Mekkah untuk memohon pertolongan Allah. Ia berdoa, belum selesai ia berdoa, tubuh sebelah kananku tiba-tiba lumpuh. Aku menyesal atas semua yang telah aku lakukan, maka aku meminta belas kasihan dan ridha ayahku sampal la berjanji akan mendoakan kebaikan untukku jika Ali mau berdoa untukku. Aku mengendarai untanya, unta betina itu melaju sangat kencang sampai terlempar di antara dua batu besar, lalu mati di sana.”

`Ali lalu berkata, “Allah akan meridhaimu, kalau ayahmu meridhaimu.” Laki-laki itu menjawab, “Demi Allah, demikianlah yang terjadi.” Kemudian ‘Ali bcrdiri, shalat beberapa rakaat, dan berdoa kepada Allah dengan pelan, kemudian berkata, “Hai orang yang diberkahi, bangkitlah!” Laki-laki itu berdiri, berjalan, dan kembali sehat seperti sedia kala. `Ali berkata, “Jika engkau tidak bersumpah bahwa ayahmu akan meridhaimu, maka aku tidak akan mendoakan kebaikan untukmu.”



Kisah 3

Fakhrurrazi yang hanya sedikit memasukkan cerita-cerita tentang karamah para sahabat dalam kitabnya, juga meriwayatkan bahwa seorang budak kulit hitam penggemar `Ali mencuri. Budak itu diajukan kepada Ali dan ditanya, “Betulkah kau mencuri?” la menjawab, “Ya,” maka `Ali memotong tangannya. Budak itu berlalu dari hadapan `Ali, kemudian berjumpa dengan Salman al-Farisi dan Ibnu al-Kawwa’. Ibnu al-Kawwa’ bertanya, “Siapa yang telah memotong tanganmu?” Ia menjawab, “Amirul mukminin, pemimpin besar umat muslim, menantu Rasullah, dan suami Fatimah.” Ibnu al-Kawwa’ bertanya, “la telah memotong tanganmu dan kamu masih juga memujinya?” Budak itu menjawab, “Mengapa aku tidak memujinya? Ia memotong tanganku sesuai dengan kebenaran dan berarti membebaskanku dari neraka.”

Salman mendengarkan penuturan budak itu, lalu menceritakannya kepada Ali. Selanjutnya Ali memanggil budak hitam itu, lalu meletakkan tangan yang telah dipotong di bawah lengannya, dan menutupnya dengan selendang, kemudian Ali memanjatkan doa. Orang-orang yang ada di sana tiba-tiba mcndengar seruan dari langit, “Angkat selendang itu dari tangannya!” Ketika selendang itu diangkat, tangan budak hitam itu tersambung kembali dengan izin Allah.



Kisah 4

Dalam kitab Al-I`tibar, Usamah bin Munqidz mengemukakan kisah yang didengarnya dari Syihabuddin Abu al-Fath, pelayan Mu’izuddaulah bin Buwaihi di Mosul pada tanggal 18 Ramadhan 566 M. Diceritakan bahwa ketika Syihabuddin berada di dalam Masjid Shunduriyah di pinggir kota Anbar daerah Tepi Barat, Khalifah Al-Muqtafi datang berkunjung bersama salah seorang menterinya. AI-Mugtafi memasuki masjid tersebut, yang dikenal dengan sebutan Masjid Amirul Mukminin Ali, dengan memakai baju biasa dan menyandang pedang yang hiasannya dari besi. Tak seorang pun mengetahui bahwa ia adalah seorang khalifah, kecuali orang-orang yang telah mengenalnya. Pengurus masjid mendoakan sang menteri. Lalu sang menteri berkata, “Celaka, doakanlah khalifah!”

Kemudian Khalifah Al-Mugtafi berkata kepada menterinya, “Tanyakan sesuatu yang bermanfaat pada pengurus masjid itu. Katakan padanya bahwa dulu pada masa pemerintahan Maulana Al-Mustazhhir, aku melihat la menderita sakit di wajahnya. Wajahnya penuh bisul schingga jika mau makan, bisulnya harus ditutup dengan sapu tangan, agar makanan bisa masuk ke mulutnya.”

Pengurus masjid itu menjelaskan, “Seperti Anda ketahui, aku berulang kali datang ke masjid ini dari Anbar. Suatu hari, ada seseorang menemuiku dan berkata, `Kalau engkau berulang kali menemui si Fulan setiap datang dari Anbar, seperti engkau berulang kali datang ke masjid ini, niscaya si Fulan akan memanggilkan tabib untukmu yang bisa menghilangkan penyakit di wajahmu.’ Perkataan orang itu merasuk ke hatiku dan menghimpit dadaku. Lalu aku tertidur pada malam itu dan bermimpi bertemu amirul mukminin Ali bin Abi Thalib yang tengah berada dalam masjid tersebut seraya bertanya, `Lubang apa ini?’ Maksudnya adalah sebuah lubang di tanah. Kemudian aku mengadukan penyakit yang menimpaku tetapi `Ali berpaling dariku. Maka aku kembali mengadukan penyakitku dan perkataan yang diucapkan oleh lelaki yang menemuiku di masjid tadi. Ali berkata, `Engkau termasuk orang yang menginginkan dunia.’ Kemudian aku terbangun, dan tiba-tiba bisul-bisul di wajahku lenyap.”

Khalifah Al-Mugtafi berkata, “Ia benar,” lalu menoleh ke arah Syihabuddin dan berkata, “Bicaralah pada pengurus masjid itu, cari tahu apa yang la minta, tuliskan permintaannya disertai tanda tangannya, dan berikan padaku untuk kutandatangani. “

Selanjutnya Syihabuddin berbincang-bincang dengan pengurus masjid itu, dan pengurus masjid itu bercerita, “Aku memiliki istri yang sedang menyusui anak dalam keadaan hamil dan beberapa anak perempuan. Setiap bulan, aku membutuhkan 3 dinar.” Syihabuddin menuliskan permintaan pengurus masjid Ali itu beserta alamatnya dan Al-Mugtafi menandatanganinya.
Al-Mugtafi kemudian menyuruh Syihabuddin untuk menyampaikan permintaan pengurus masjid itu ke dewan keuangan. Syihabuddin membawa berkas permintaan pengurus masjid itu ke dewan keuangan dan dewan menandatanganinya tanpa membacanya serta mengambil bagian tulisan khalifah Al-Mugtafi. Ketika sekretaris dewan membuka tulisan itu untuk dipindahkan, ia menemukan tulisan khalifah Al-Mugtafi di bawah tanda tangan pengurus masjid Ali yang berbunyi, “Seandainya ia meminta lebih dari itu, tentu akan diberi.”



Kisah 5

Kisah lainnya menceritakan bahwa Nabi Muhammad Saw menyuruh Abu Dzar memanggil Ali. Sesampai di rumah Ali, Abu Dzar melihat alat penggiling sedang menggiling gandum padahal tidak ada seorang pun di sana. Kemudian Abu Dzar menceritakan hal tersebut kepada Nabi Saw Beliau berkata, “Hai Abu Dzar! Tahukah kau bahwa Allah memiliki malaikat-malaikat yang berjalan-jalan di bumi dan mereka diperintahkan untuk membantu keluarga Nabi Muhammad Saw.” (Dikemukakan olch Al-Shubban dalam kitab Is`af al-Raghibin dan Al Mala’ dalam kitab Sirahnya)

Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "Ali Bin Abi Thalib (Khulafaur Rasyidin Ke-4)"

Orang yang Baik Selalu Meninggalkan Komentar walau Kritikan