KH Ma'ruf Irsyad
KH Ma'ruf Irsyad
KH Ma’ruf Irsyad Sosok yang Ikhlas dan Bersahaja
|
Selalu ikhlas dan
berlapang dada, sudah menjadi piawainya sejak kecil. Tidak pernah menolak
undangan dari masyarakat sekitar, adalah prinsipnya. Tak heran, jika namanya
selalu dikenang masyarakat, termasuk ilmu-ilmunya. Berikut laporan Muchammad.
Izzul Ma’aly, Wartawan Arwaniyyah Kudus.
Pepatah mengatakan, “Gajah
mati meninggalkan gading, Harimau mati meninggalkan belang, sementara manusia
mati meninggalkan nama.” Inilah KH. Ma’ruf Irsyad, tak sekadar meninggalkan
nama, tapi meninggalkan ilmu untuk masyarakat luas. Meski jasadnya kini telah
terkubur rapat di dalam tanah. Ajaran-ajaran dan namanya, hingga kini masih
terngiang di hati masyarakat.
Tanggal 22 Juli 2010,
pukul 10.50 WIB, menjadi momen penting bagi masyarakat Kudus, sekaligus momen
yang memilukan. Karena mereka harus rela melepas kepergian KH Ma’ruf Irsyad
untuk selamanya di usianya yang ke 73 tahun. Tak ada yang tahu, dan tak ada
yang dapat mencegah, ketika Malaikat Izrail sudah hadir di hadapan kita.
Ribuan pasang mata
menjadi sembab. Mengantar kepergiannya hingga ke peristirahatan terakhir.
Jasadnya bersemayam di makam Sidoluhur Krapyak, Kudus, berdampingan dengan
makam ayahandanya, KH Irsyad.
Sejak kecil, putera
pasangan KH Irsyad dan Hj Munijah ini, hidup dalam lingkungan sederhana. Hanya
berbekal kasih sayang Ibundanya (karena ditinggal wafat ayahnya sejak kecil),
Ma’ruf kecil memulai pendidikannya di SD Purwosari, Kudus. Karena sesuatu hal,
ia pindah ke SD Demangan, Kudus, sembari menimba ilmu agama kepada para kyai di
tanah kelahirannya.
Selepas dari SD, Ma’ruf
melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyyah (MTs) TBS (Tasywiquth
Thullab Salafiyyah) Kudus. Dan itu menjadi bangku sekolah formal terakhir
yang dienyamnya. Di sekolah yang terkenal dengan ilmu salahfnya itu, Pengasuh
Pondok Pesantren Raudlotul Muta’allimin ini mendapatkan ajaran ilmu salaf dari
beberapa kiyai. Diantaranya KH Arwani Amin, KH Ma’mun Ahmad, dan KH Hambali.
Selepas dari MTs TBS,
Ma’ruf remaja tak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, karena kondisi
ekonomi yang tidak memungkinkan. Namun, kondisi tersebut tak membuatnya putus
semangat, ia tetap berbesar hati bahwa ilmu tak hanya bersumber dari sekolah
formal. Justru ayah dari enam anak ini, sewaktu muda menimba ilmu dari satu
kiyai ke kiyai yang lain. Tak heran, jika ilmunya selalu bertambah.
Ikhlas dan Bersahaja
Ikhlas dan bersahaja
dalam menjalani hidup, sudah diajarkan orang tuanya sejak kecil. Tak heran,
jika seamasa hidupnya, kiyai yang dikenal dengan kesabarannya ini, lebih
memilih hidup sederhana daripada harus memperlihatkan kemewahannya. Kendati
demikian, tak seorang pun yang menganggap rendah dan merendahkannya. Semua
orang menghormatinya. Bahkan, kalau boleh berkata, siapa yang tak kenal beliau.
Hampir berbagai lapisan masyarakat, dari santri, priyayi, hingga para habaib di
Kudus, mengenalnya dengan baik. Itulah yang membuat besan KH Abdul Basyir ini
tak pernah absen ketika ada undangan pengajian atau hajatan dari masyarakat
sekitar.
Dengan ditemani sepeda
kumbang, Kiyai Ma’ruf menjalani aktifitasnya dengan sangat disiplin. Mulai dari
mengajar, dakwah, hingga memenuhi undangan. Pernah suatu kali ditegur oleh sang
istri, Hj Salamah, agar tidak terus-terusan naik sepeda. “Mbok jangan
naik sepeda terus, kan bisa nyuruh santri antar-jemput". Tapi beliau
selalu beralasan kalau bersepeda untuk berolahraga, agar badan tetap sehat dan
tidak sakit-sakitan. Kasihan juga merepotkan orang lain, disuruh antar-jemput
segala,” kenang Hj Salamah sembari menirukan ucapan suami tercintanya.
Dalam kehidupan
sehari-hari, Kiyai yang berkediaman di Desa Langgardalem, Kecamatan Kota, Kudus
ini sangat gemar bermasyarakat. Seperti tak ada sekat antara kiyai dan
masyarkat biasa. Pandai bergurau, dan mengenakan pakaian sepantasnya, membuatnya
mudah akrab dengan lawan bicaranya.
Sifat ramah dan tidak pernah menolak undangan dari
siapapun, dimanapun dan kapanpun pula yang membuatnya akrab dengan masyarakat
sekitar. Selagi mampu, kapanpun undangan itu akan dipenuhi. Tidak jarang dalam
sehari bisa memenuhi undangan lebih dari tiga kali, itupun beliau bagi dengan
rata. “Jadi kalau tidak mendapat bagian mengisi mauidhoh (ceramah), ya
cukup tahlil, doa penutup, bahkan pembawa acara pun beliau penuhi,” certita ibu
enam anak ini.
Karena sambung Salamah, beliau tidak mau membuat
kecewa masyarakat yang mengundanganya. Meski sebentar, yang penting semua dapat
dihadiri, agar yang bersangkutan merasa senang atas kehadiran beliau.
Gemar Mengaji dan Berdakwah
Semasa kecil hingga menjelang akhir hayat, KH Ma’ruf
Irsyad tidak pernah berhenti belajar, meski jumlah santrinya mencapai ribuan.
Masa muda adalah masa keemasan untuk mengejar semua cita-cita. Mengaji dan
mengaji, dilakukan tanpa kenal lelah. Meski tidak pernah hidup dalam ruang
pesantren, Kiyai Ma’ruf tak merasa kecil hati. Bahkan, kesederhanannya itu yang
membuatnya selalu bersemangat untuk terus mencari ilmu hingga di akhir
hayatnya.
Ketekunan dan keikhlasannya dalam belajar,
membuatnya dikenal dan di sayang okeh para gurunya. Termasuk Kyai Sirojuddin,
ulama asal Kabupaten Pati yang mengajarkan Kitab Bukhori di Masjid Kaujon
setiap Jum’at pagi, yang diselenggarakan oleh Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ (NU).
Berkat ketekunannya, ia dipercaya untuk meneruskan pengajian Kitab Bukhori,
setelah Kyai Sirojuddin wafat.
Melihat ketekunan itu, ayahandanya pernah memintanya
untuk membantu kakak iparnya, KH. Rif’an, untuk mengajar Pesantren abahnya,
yakni di Pondok Pesantren Roudlotul Muta’allimin (PPRM). Di sela-sela waktu
mengajar, Ma’ruf juga meluangkan waktu untuk belajar kepada kakak iparnya.
Selain berdakwah melalui majlis ta’lim, alumni MTs
TBS ini juga mengajar di Madrasah Qudsiyyah Menara Kudus. Selang beberapa waktu
kemudian, dia mendapat tawaran untuk mengajar di TBS menggantikan KH Hambali,
karena meninggal dunia. Berawal dari situ, beberapa madrasah lainnya,
memintanya untuk menjadi salah satu guru di madrasahnya. Diantaranya MA NU
Mu’allimat, MA NU Banat Kudus, dan Madrasah Diniyyah Mu’awanatul Muslimin.
Semua dilakukan dengan ikhlas tanpa pamrih. Tidak pernah sekalipun minta
diantar-jemput oleh pihak madrasah, dan sepeda kumbang menjadi teman sejatinya
menularkan ilmu hingga kondisinya benar-benar tidak sanggup lagi mengayuh
sepeda tua itu.
Nasib tak akan kemana, jika hati sudah ikhlas.
Berkat dedikasinya di Qudsiyyah, Kiyai Ma’ruf diangkat menjadi Pegawai Negeri
Sipil (PNS), yang ketika itu berkonsentrasi di UGA (Urusan Agama). Tawaran itu
diterima untuk mememenuhi kebutuhan keluarga. Di samping itu, untuk beramal
kepada Madrasah Qudsiyyah. Karena dengan gaji PNS, ia tidak mau lagi diberi
gaji dari pihak Madrasah Qudsiyyah.
Nampaknya embel-embel PNS yang melekat pada baju
dinasnya, tidak bertahan lama, karena dia harus mengundurkan diri. “Waktu itu
kan pemerintah mengharuskan PNS mengikuti salah satu Partai Politik. Beliau
merasa kurang cocok sehingga secepatnya mengundurkan diri,” jelas Nyai Salamah
saat ditemui dikediamannya beberapa waktu lalu.
Pengalaman menjadi PNS, merupakan pertama dan
terakhir kali baginya. Berawal dari pengalaman itu, Kiyai Ma’ruf tak ingin lagi
menjadi PNS, tidak mau lagi mengejar duniawi yang berlebihan. Menjadi guru di
madrasah tanpa menyandang predikat PNS menjadi pilihannya, karena itu dirasa
lebih cukup dan barokah, dibanding ketika menjadi PNS.
Majlis yang diasuh
Dipanggilnya KH Ma’ruf Irsyad ke rahmatullah untuk
selamanya itu, membawa duka yang sangat dalam bagi keluarga, masyarakat, dan
para santrinya. Sosok guru yang ikhlas dan kharismatik itu, kini tinggal
kenangan. Berbagai majlis pengajian baik di pesantren maupun di Masjid-masjid,
yang semula dipimpin oleh kakek 14 cucu ini, kini digantikan oleh para menantu
dan orang-orang terdekanya. Para menantu yang menggantikan pengajiannya antara
lain Ustadz Masfu’i, Ustadz Basith Al-Hafidz (Putera dari KH. Qodir Janggalan),
Guz Jazuli (putera KH. Basyir Bareng) dan Ustadz Fikri. Selain
menantunya ada juga KH Kustur Faiz, KH Ahmadi A. Fatah, Ustadz H Durrun Nafis
serta para kiyai dan asatidz yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Sebelum wafat, suami Hj Salamah ini menulis secarik
surat berisi wasiat penting. “Aku pesan, kepada anak-anakku dan istriku
setiap hari harus membaca surah Al-fatihah 1x dan Al-ikhlas 3x,” begitu
kiranya pesan yang ditinggalkan oleh Kiyai Ma’ruf. Dan pesan inilah yang
selalu dijaga oleh istri dan anak-anak beliau.
Sehingga, kepulangan Yai Ma’ruf kehadirat Allah SWT,
hanyalah jasadnya. Namun ruh serta ajaran beliau masih dan akan terus menyertai
kehidupan kita semua. Meski Kudus telah kehilangan mutiara yang sangat
berharga, nama beliau akan tetap terjaga untuk selamanya. Dan semoga akan
tumbuh lagi sosok Ma’ruf yang ikhlas, bersahaja dan kharismatik di masa depan
kelak. Selamat jalan Mbah.
0 Response to "KH Ma'ruf Irsyad"
Post a Comment
Orang yang Baik Selalu Meninggalkan Komentar walau Kritikan