KH Ma'ruf Irsyad

KH Ma'ruf Irsyad

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjriniLhONIUzgWou0FAngUmGcR45NL7mj8MYYZXdJIHUj0u7qfAVINMU_2vxKrvfJuke_JkPuH5Qxb94JcfXBjRvFNAXVnoZhEAMn8Mv8CYUAn9JkTdNjDaOhCN30jOI7xS44MWcc7IU1s/s1600/34924_116171848428375_100001066807752_90289_1317161_n.jpg
 
KH Ma’ruf Irsyad Sosok yang Ikhlas dan Bersahaja
      Selalu ikhlas dan berlapang dada, sudah menjadi piawainya sejak kecil. Tidak pernah menolak undangan dari masyarakat sekitar, adalah prinsipnya. Tak heran, jika namanya selalu dikenang masyarakat, termasuk ilmu-ilmunya. Berikut laporan Muchammad. Izzul Ma’aly, Wartawan Arwaniyyah Kudus.
  
Pepatah mengatakan, “Gajah mati meninggalkan gading, Harimau mati meninggalkan belang, sementara manusia mati meninggalkan nama.” Inilah KH. Ma’ruf Irsyad, tak sekadar meninggalkan nama, tapi meninggalkan ilmu untuk masyarakat luas. Meski jasadnya kini telah terkubur rapat di dalam tanah. Ajaran-ajaran dan namanya, hingga kini masih terngiang di hati masyarakat.
Tanggal 22 Juli 2010, pukul 10.50 WIB, menjadi momen penting bagi masyarakat Kudus, sekaligus momen yang memilukan. Karena mereka harus rela melepas kepergian KH Ma’ruf Irsyad untuk selamanya di usianya yang ke 73 tahun. Tak ada yang tahu, dan tak ada yang dapat mencegah, ketika Malaikat Izrail sudah hadir di hadapan kita.
Ribuan pasang mata menjadi sembab. Mengantar kepergiannya hingga ke peristirahatan terakhir. Jasadnya bersemayam di makam Sidoluhur Krapyak, Kudus, berdampingan dengan makam ayahandanya, KH Irsyad.
Sejak kecil, putera pasangan KH Irsyad dan Hj Munijah ini, hidup dalam lingkungan sederhana. Hanya berbekal kasih sayang Ibundanya (karena ditinggal wafat ayahnya sejak kecil), Ma’ruf kecil memulai pendidikannya di SD Purwosari, Kudus. Karena sesuatu hal, ia pindah ke SD Demangan, Kudus, sembari menimba ilmu agama kepada para kyai di tanah kelahirannya.
Selepas dari SD, Ma’ruf melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyyah (MTs) TBS (Tasywiquth Thullab Salafiyyah) Kudus. Dan itu menjadi bangku sekolah formal terakhir yang dienyamnya. Di sekolah yang terkenal dengan ilmu salahfnya itu, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlotul Muta’allimin ini mendapatkan ajaran ilmu salaf dari beberapa kiyai. Diantaranya KH Arwani Amin, KH Ma’mun Ahmad, dan KH Hambali.
Selepas dari MTs TBS, Ma’ruf remaja tak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan. Namun, kondisi tersebut tak membuatnya putus semangat, ia tetap berbesar hati bahwa ilmu tak hanya bersumber dari sekolah formal. Justru ayah dari enam anak ini, sewaktu muda menimba ilmu dari satu kiyai ke kiyai yang lain. Tak heran, jika ilmunya selalu bertambah.

Ikhlas dan Bersahaja
Ikhlas dan bersahaja dalam menjalani hidup, sudah diajarkan orang tuanya sejak kecil. Tak heran, jika seamasa hidupnya, kiyai yang dikenal dengan kesabarannya ini, lebih memilih hidup sederhana daripada harus memperlihatkan kemewahannya. Kendati demikian, tak seorang pun yang menganggap rendah dan merendahkannya. Semua orang menghormatinya. Bahkan, kalau boleh berkata, siapa yang tak kenal beliau. Hampir berbagai lapisan masyarakat, dari santri, priyayi, hingga para habaib di Kudus, mengenalnya dengan baik. Itulah yang membuat besan KH Abdul Basyir ini tak pernah absen ketika ada undangan pengajian atau hajatan dari masyarakat sekitar.
Dengan ditemani sepeda kumbang, Kiyai Ma’ruf menjalani aktifitasnya dengan sangat disiplin. Mulai dari mengajar, dakwah, hingga memenuhi undangan. Pernah suatu kali ditegur oleh sang istri, Hj Salamah, agar tidak terus-terusan naik sepeda. “Mbok jangan naik sepeda terus, kan bisa nyuruh santri antar-jemput". Tapi beliau selalu beralasan kalau bersepeda untuk berolahraga, agar badan tetap sehat dan tidak sakit-sakitan. Kasihan juga merepotkan orang lain, disuruh antar-jemput segala,” kenang Hj Salamah sembari menirukan ucapan suami tercintanya.
Dalam kehidupan sehari-hari, Kiyai yang berkediaman di Desa Langgardalem, Kecamatan Kota, Kudus ini sangat gemar bermasyarakat. Seperti tak ada sekat antara kiyai dan masyarkat biasa. Pandai bergurau, dan mengenakan pakaian sepantasnya, membuatnya mudah akrab dengan lawan bicaranya.
Sifat ramah dan tidak pernah menolak undangan dari siapapun, dimanapun dan kapanpun pula yang membuatnya akrab dengan masyarakat sekitar. Selagi mampu, kapanpun undangan itu akan dipenuhi. Tidak jarang dalam sehari bisa memenuhi undangan lebih dari tiga kali, itupun beliau bagi dengan rata. “Jadi kalau tidak mendapat bagian mengisi mauidhoh (ceramah), ya cukup tahlil, doa penutup, bahkan pembawa acara pun beliau penuhi,” certita ibu enam anak ini.
Karena sambung Salamah, beliau tidak mau membuat kecewa masyarakat yang mengundanganya. Meski sebentar, yang penting semua dapat dihadiri, agar yang bersangkutan merasa senang atas kehadiran beliau.

Gemar Mengaji dan Berdakwah
Semasa kecil hingga menjelang akhir hayat, KH Ma’ruf Irsyad tidak pernah berhenti belajar, meski jumlah santrinya mencapai ribuan. Masa muda adalah masa keemasan untuk mengejar semua cita-cita. Mengaji dan mengaji, dilakukan tanpa kenal lelah. Meski tidak pernah hidup dalam ruang pesantren, Kiyai Ma’ruf tak merasa kecil hati. Bahkan, kesederhanannya itu yang membuatnya selalu bersemangat untuk terus mencari ilmu hingga di akhir hayatnya.
Ketekunan dan keikhlasannya dalam belajar, membuatnya dikenal dan di sayang okeh para gurunya. Termasuk Kyai Sirojuddin, ulama asal Kabupaten Pati yang mengajarkan Kitab Bukhori di Masjid Kaujon setiap Jum’at pagi, yang diselenggarakan oleh Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ (NU). Berkat ketekunannya, ia dipercaya untuk meneruskan pengajian Kitab Bukhori, setelah Kyai Sirojuddin wafat.
Melihat ketekunan itu, ayahandanya pernah memintanya untuk membantu kakak iparnya, KH. Rif’an, untuk mengajar Pesantren abahnya, yakni di Pondok Pesantren Roudlotul Muta’allimin (PPRM). Di sela-sela waktu mengajar, Ma’ruf juga meluangkan waktu untuk belajar kepada kakak iparnya.
Selain berdakwah melalui majlis ta’lim, alumni MTs TBS ini juga mengajar di Madrasah Qudsiyyah Menara Kudus. Selang beberapa waktu kemudian, dia mendapat tawaran untuk mengajar di TBS menggantikan KH Hambali, karena meninggal dunia. Berawal dari situ, beberapa madrasah lainnya, memintanya untuk menjadi salah satu guru di madrasahnya. Diantaranya MA NU Mu’allimat, MA NU Banat Kudus, dan Madrasah Diniyyah Mu’awanatul Muslimin. Semua dilakukan dengan ikhlas tanpa pamrih. Tidak pernah sekalipun minta diantar-jemput oleh pihak madrasah, dan sepeda kumbang menjadi teman sejatinya menularkan ilmu hingga kondisinya benar-benar tidak sanggup lagi mengayuh sepeda tua itu.
Nasib tak akan kemana, jika hati sudah ikhlas. Berkat dedikasinya di Qudsiyyah, Kiyai Ma’ruf diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang ketika itu berkonsentrasi di UGA (Urusan Agama). Tawaran itu diterima untuk mememenuhi kebutuhan keluarga. Di samping itu, untuk beramal kepada Madrasah Qudsiyyah. Karena dengan gaji PNS, ia tidak mau lagi diberi gaji dari pihak Madrasah Qudsiyyah.
Nampaknya embel-embel PNS yang melekat pada baju dinasnya, tidak bertahan lama, karena dia harus mengundurkan diri. “Waktu itu kan pemerintah mengharuskan PNS mengikuti salah satu Partai Politik. Beliau merasa kurang cocok sehingga secepatnya mengundurkan diri,” jelas Nyai Salamah saat ditemui dikediamannya beberapa waktu lalu.
Pengalaman menjadi PNS, merupakan pertama dan terakhir kali baginya. Berawal dari pengalaman itu, Kiyai Ma’ruf tak ingin lagi menjadi PNS, tidak mau lagi mengejar duniawi yang berlebihan. Menjadi guru di madrasah tanpa menyandang predikat PNS menjadi pilihannya, karena itu dirasa lebih cukup dan barokah, dibanding ketika menjadi PNS.

Majlis yang diasuh
Dipanggilnya KH Ma’ruf Irsyad ke rahmatullah untuk selamanya itu, membawa duka yang sangat dalam bagi keluarga, masyarakat, dan para santrinya. Sosok guru yang ikhlas dan kharismatik itu, kini tinggal kenangan. Berbagai majlis pengajian baik di pesantren maupun di Masjid-masjid, yang semula dipimpin oleh kakek 14 cucu ini, kini digantikan oleh para menantu dan orang-orang terdekanya. Para menantu yang menggantikan pengajiannya antara lain Ustadz Masfu’i, Ustadz Basith Al-Hafidz (Putera dari KH. Qodir Janggalan), Guz Jazuli (putera KH. Basyir Bareng) dan Ustadz Fikri. Selain menantunya ada juga KH Kustur Faiz, KH Ahmadi A. Fatah, Ustadz H Durrun Nafis serta para kiyai dan asatidz yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Sebelum wafat, suami Hj Salamah ini menulis secarik surat berisi wasiat penting. “Aku pesan, kepada anak-anakku dan istriku setiap hari harus membaca surah Al-fatihah 1x dan Al-ikhlas 3x,” begitu kiranya pesan yang ditinggalkan oleh Kiyai Ma’ruf. Dan pesan inilah yang selalu dijaga oleh istri dan anak-anak beliau.
Sehingga, kepulangan Yai Ma’ruf kehadirat Allah SWT, hanyalah jasadnya. Namun ruh serta ajaran beliau masih dan akan terus menyertai kehidupan kita semua. Meski Kudus telah kehilangan mutiara yang sangat berharga, nama beliau akan tetap terjaga untuk selamanya. Dan semoga akan tumbuh lagi sosok Ma’ruf yang ikhlas, bersahaja dan kharismatik di masa depan kelak. Selamat jalan Mbah.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KH Ma'ruf Irsyad"

Post a Comment

Orang yang Baik Selalu Meninggalkan Komentar walau Kritikan