Zaid Bin Haritsah (Panglima Kesayangan Rasulullah Saw)
Zaid Bin Haristsah : Panglima Kesayangan Rasulullah
Namanya Zaid. Ibunya
bernama Su’da, sedangkan ayahnya bernama Haritsah. Orang-orang memanggilnya
Zaid bin Haritsah. Sosoknya diceritakan berperawakan biasa, agak pendek,
kulitnya cokelat kemerah-merahan, dan hidungnya terlalu pesek untuk ukuran
hidung orang Arab. Tentang kapan dan dimana Zaid lahir, tidak ada catatan
sejarah yang benar-benar tegas menyebutkannya. Yang pasti, Zaid dikenal sebagai
salah seorang pahlawan agung lslam yang kesetiaan dan pembelaannya terhadap
Rasulullah tidak diragukan lagi.
Sejak kecil Zaid sudah harus berpisah dengan
kedua orang tuanya. Ceritanya bermula ketika Su’da berencana mengunjungi
keluarganya di kampung Bani Ma’an dan bermaksud mengajak Zaid serta. Adapun
ayah Zaid, Haritsah, tidak ikut serta karena ada keperluan lain yang tak kalah
pentingnya. Dia berpikir bahwa cukup baginya menitipkan anak dan istrinya
kepada rombongan kafilah yang hendak berangkat ke sana. Haritsah tidak pernah
tahu bahwa keputusannya itu akan menjadi awal bencana bagi keluarganya.
Demikian pula Su’da, apalagi Zaid yang masih bocah. Kafilah berangkat, dan
Haritsah melepas kepergian istri dan anaknya dengan sebuah salam perpisahan.
Tak lupa, dia juga berpesan kepada istrinya agar berhati-hati di jalan.
“lstriku, jagalah putra kita dengan baik, dan
hati-hatilah di perjalanan.” Kata Haritsah dengan dada sesak. Diciumnya kening
putranya dengan penuh kasih sayang. Sampai detik itu, Haritsah belum tahu bahwa
pertemuan itu merupakan detik-detik perpisahan dengan anaknya. “Ya, suamiku.
Aku pasti akan menjaga Zaid dengan baik.” Jawab Su’da sambil tersenyum.
Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan
melelahkan, akhirnya Su’da dan Zaid sampai di kampung Bani Ma’an. Mereka
disambut dengan gembira oleh sanak keluarga yang memang sudah sangat merindukan
mereka. Su’da sendiri juga merasakan kerinduan yang sama, sehingga dia berniat
tinggal agak lama di sana. Apalagi saat dilihatnya Zaid sangat menikmati
suasana kampung kecil yang terletak di perbatasan Arab dan Syam itu. Zaid yang
masih kecil tampak asyik bermain dengan anak-anak sebayanya.
Namun, keceriaan dan kesenanSan Su’da maupun Zaid
tidak berlangsung lama. Suatu hari menjelang subuh, sepasukan perampok Badui
yang ganas tiba-tiba datang menyerbu kampung Bani Ma’an. Penduduk kampung Bani
Ma’an masih tidur lelap saat para perampok menyerang, sehingga mereka sama
sekali tidak mampu melawan. Akibatnya, kampung Bani Ma’an porak-poranda. Semua
orang lari tunggang-langgang menyelamatkan diri, karena para perampok itu tidak
hanya mengambil harta benda. Seperti kebiasaan yang berlangsung di kalangan
masyarakat Arab jahiliah, para perampok Badui itu juga menangkap orang-orang
untuk dijual sebagai budak
Di antara hasil tangkapan mereka adalah bocah
kecil Zaid bin Haritsah. Sebenarnya Su’da sudah berusaha mati-matian melindungi
anaknya, namun apa daya para perampok Badui yang ganas mengambil Zaid dari
dekapannya dengan paksa. Su’da diancam dengan pedang, lalu dia dipukul dan
didorong hingga jatuh terjerembab ke tanah.
Zaid yang direnggut dari ibunya tentu saja
berusaha memberontak. Dengan sekuat tenaga dia meronta dan menjerit. Kedua
tangannya memukul-mukul sekenanya, sementara kedua kakinya menendang
sekuat-kuatnya. Tetapi apalah arti rontaan, pukulan, dan tendangan seorang
bocah kecil bagi seorang perampok dewasa yang kuat lagi ganas. Tanpa kesulitan,
Zaid pun dibawa paksa oleh para perampok itu. Sementara Su’da hanya bisa
menangisi ketidakberdayaannya. Su’da menjambaki rambutnya sendiri sambil
menangis sejadi-jadinya, pertanda bahwa dia sangat menyesali kejadian itu dan
menyalahkan dirinya yang tidak bisa menjaga amanat suaminya. Kesedihan dan
penyesalan yang tidak terperikan itu membuat Su’da jatuh pingsan.
Setelah sadar dari pingsannya, Su’da memutuskan
untuk segera pulang ke kampung halamannya. Dia merasa harus menyampaikan berita
ini secepatnya kepada Haritsah. Dia tidak ingin Haritsah mengetahui kabar itu
dari orang lain. Segera Su’da berkemas, kemudian berpamitan kepada keluarganya.
Dengan berat hati mereka mengizinkan Su’da pulang sambil terus menghiburnya
agar tetap sabar dan tabah.
Su’da pulang dengan mengendarai untanya melewati
gurun pasir yang sangat panas dan gersang. Setelah melewati perjalanan yang cukup
melelahkan, akhirnya Su’da tiba di rumahnya. Haritsah berlari keluar menyambut
kedatangannya dengan kerinduan seorang suami dan seorang ayah.
“Oh, kamu sudah pulang, Su’da. Tapi mengapa
wajahmu tampak sedih? Mana anak kita?” tanya Haritsah demi dilihatnya Su’da
datang sendirian tanpa disertai Zaid.
Ditanya begitu oleh suaminya, tangis Su’da
meledak. Dengan terbata-bata dan sesekali diiringi isak tangis, dia
menceritakan semua kejadian yang dia alami kepada suaminya. Diceritakannya
semua kejadian itu dengan runtut, tanpa ditambah maupun dikurangi. Mendengar
cerita itu, Haritsah langsung menangis hingga jatuh pingsan.
Setelah siuman,
Haritsah masih terus menangis sedih. Dia merasa sangat bersalah karena tidak
mengantar istri dan anaknya ke kampung Bani Ma’an. Seandainya dia ikut ke sana,
mungkin dia bisa melindungi anaknya dari para perampok itu. Hari itu’ Haritsah
merasa telah menjadi laki-laki yang tidak berguna. Bagaimana mungkin seorang
ayah membiarkan anaknya diculik perampok? Pertanyaan inilah yang terus
menghantui pikirannya dan terus menyiksanya dengan perasaan bersalah.
Dalam hati, Haritsah
bertekad, apa pun yang terjadi dia harus menemukan Zaid dan membawanya pulang.
Entah bagaimana caranya, entah kapan dan di mana menemukannya. Sejak saat itu,
Haritsah terus berjalan menelusuri desa-desa, bahkan melintasi gurun pasir
untuk mencari putranya. Setiap ada rombongan kafilah yang ditemuinya, Haritsah
bertanya kepada mereka, apakah di antara mereka ada yang tahu atau pernah
melihat Zaid. Namun tak seorang pun yang dapat memberi keterangan kepada
Haritsah mengenai putranya. Akhirnya, setelah bertahun-tahun mencari tanpa
hasil, Haritsah menyerah. Dia dan istrinya sudah pasrah dan hanya bisa
menyerahkan nasib anaknya kepada kemurahan Tuhan.
Sementara itu para
perampok yang membawa Zaid bermaksud menjual bocah kecil itu di pasar budak.
Maka pergilah mereka ke pasar Ukaz dikota Mekah, sebab di situlah kegiatan jual
beli segala macam barang dagangan dilakukan, mulai dari kain, pakaian, bahan
makanan, barang-barang kerajinan, hingga manusia! ya, pada masa itu manusia
bisa diperjualbelikan bak binatang piaraan, karena masyarakat Arab jahiliah
masih mengenal perbudakan. Harga budak-budak yang diperjualbelikan di situ
beragam, dari yang paling murah sampai yang paling mahal. Tinggi rendahnya
harga mereka tergantung pada banyak hal, misalnya umur, perawakan tubuh, dan
kondisi fisiknya. Ke pasar itulah Zaid kecil dibawa, persis seperti seekor anak
kambing yang dibawa ke pasar hewan tanpa induknya. Zaid kecil terus menangis
ketakutan. Tangisannya itu menarik perhatian seorang laki-laki yang kebetulan
lewat di ekat situ. Laki-laki bernama Hakim bin Hizam itu mendekati kawanan
perampok tersebut, lalu bertanya,
‘Apakah anak ini akan
kalian jual?”
“Ya, kami akan menjualnya.” Kata salah satu perampok.
“Berapa harganya?”
“Empat ratus dirham.”
“Baiklah, kubeli anak ini empat ratus dirham,” kata Hakim tanpa menawar-nawar lagi.
“Ya, kami akan menjualnya.” Kata salah satu perampok.
“Berapa harganya?”
“Empat ratus dirham.”
“Baiklah, kubeli anak ini empat ratus dirham,” kata Hakim tanpa menawar-nawar lagi.
Rupanya dia merasa
kasihan melihat Zaid yang terus menangis. Setelah membayar harga budak kecil
itu, Hakim Uin Hirur membawa Zaid bin Haritsah pulang. Di sepanjang jalan,
Hakim berusaha menghibur Zaid agar tidak terus bersedih. Dia berjanji akan
memperlakukan Zaid dengan baik. Bahkan Hakim berencana akan memberikan Zaid
kepada bibinya, yaitu Khadijah binti Khuwailid, istri Muhammad al-Amin. Seorang
wanita bangsawan kaya raya dan baik hati, yang bersuamikan seorang laki-laki
terhormat yang terkenal dengan kluhurana hlaknya. Dengan memberikan Zaid kepada
keluarga mulia itu, Hakim yakin Zaid akan diperlakukan lebih baik.
Maka, setelah beberapa
lama Zaid diajak tinggal bersamanya, pada suatu pagi Hakim mengajaknya ke rumah
Khadijah. Mereka disambut oleh Khadijah dengan sangat ramah. Setelah Hakim
menyampaikan maksud kedatangannya, Khadijah mengucapkan terima kasih dan
berjanji akan memperlakukan Zaid dengan baik. “Saudaraku, engkau berikan
kepadaku budak kecil ini. Terima kasih banyak. Aku berjanji akan
memperlakukannya dengan baik.” Kata Khadijah. Dalam hati, dia berniat
memberikan Zaid kepada suaminya sebagai hadiah.
Waktu itu Muhammad
belum diangkat menjadi seorang rasul, tetapi dia adalah seorang lelaki
terhormat dari suku Quraisy yang sangat terkenal dengan keluhuran akhlaknya.
Kepadanyalah Zaid kemudian diberikan. Tak ayal, meski menjadi seorang budak,
Zaid merasa bersyukur memiliki majikan orang-orang yang baik dan mulia.
Majikannya yang pertama, Hakim bin Hizam, memperlakukannya dengan baik. Dia
tidak pernah dipukul atau disiksa layaknya budak pada masa itu.
Majikannya yang kedua,
Khadijah binti Khuwailid, juga memperlakukannya dengan baik, bahkan lebih baik
dari perlakuan Hakim. Sementara majikannya yang ketiga, Muhammad al-Amin,
memperlakukannya dengan penuh kasih sayang seolah-olah Zaid adalah anaknya
sendiri. Maka pantaslah jika Zaid merasa bersyukur atas nasib yang menimpanya.
Rasa syukur itu kian hari kian bertambah, hingga kemudian Zaid merasa sangat
kerasan tinggal bersama keluarga Muhammad. Apalagi ketika suatu hari terjadi
suatu peristiwa yang tak mungkin terlupakan seumur hidupnya. Saat itu Muhammad
memanggilnya.
“Tahukah kamu, untuk
apa aku memanggilmu, Zaid?” tanya Muhammad dengan suara lembut dan senyum
tersungging.
“Tidak, Tuan.” Jawab Zaid sambil menduga-duga.
‘Ada sebuah berita gambira untukmu…”
Jantung Zaid berdebar-debar mendengar bahwa dirinya akan memperoleh sesuatu yang menggembirakan. Kabar apa gerangan yang hendak disampaikan oleh majikannya yang mulia itu?
“Sejak detik ini engkau menjadi orang merdeka, Zaid.”
“Tidak, Tuan.” Jawab Zaid sambil menduga-duga.
‘Ada sebuah berita gambira untukmu…”
Jantung Zaid berdebar-debar mendengar bahwa dirinya akan memperoleh sesuatu yang menggembirakan. Kabar apa gerangan yang hendak disampaikan oleh majikannya yang mulia itu?
“Sejak detik ini engkau menjadi orang merdeka, Zaid.”
Ucapan Muhammad itu
dirasakan Zaid bagaikan petir di siang bolong. Dia hampir-hampir tidak percaya
mendengarnya. Andai bukan Muhammad al-Amin yang mengatakannya, mungkin Zaid
akan menganggapnya sebagai bualan belaka. Betapa tidak, budak adalah harta yang
berharga ketika itu. Seseorang dapat memiliki budak dengan cara membeli,
padahal harga budak kadang bisa sangat tinggi. Maka, untuk memerdekakan seorang
budak juga dibutuhkan uang yang tidak sedikit. ltulah mengapa kata “merdeka”
bagi seorang budak seperti mimpi, sebab sebuah kemerdekaan mesti ditebus dengan
harga yang sangat mahal. Seorang budak seperti Zaid hampir tidak ada harapan
untuk mampu menebus dirinya. Maka, begitu mendengar ucapan majikannya itu Zaid
tak dapat berkata-kata.
Dia tertegun sesaat, sampai didengarnya kembali Muhammad berkata, “Kini engkau bebas pergi ke mana pun engkau suka. Namun, jika mau, engkau dapat tinggal di sini bersamaku.” Begitu kata-kata yang keluar dari mulut mulia Muhammad. Mendengar kata-kata yang sangat indah itu, Zaid menangis haru.
Dia tertegun sesaat, sampai didengarnya kembali Muhammad berkata, “Kini engkau bebas pergi ke mana pun engkau suka. Namun, jika mau, engkau dapat tinggal di sini bersamaku.” Begitu kata-kata yang keluar dari mulut mulia Muhammad. Mendengar kata-kata yang sangat indah itu, Zaid menangis haru.
Sungguh, tidak ada
kebahagiaan yang lebih besar baginya dari pada kebahagiaan yang dia rasakan
saat itu. Sejak saat itu Zaid tinggal bersama keluarga Muhammad bukan sebagai
budak, melainkan sebagai salah satu anggota keluarga. Muhammad mendidiknya
dengan penuh kasih sayang, sehingga Zaid tumbuh menjadi pemuda yang berakhlak
mulia.
Pada suatu musim haji,
ada serombongan jamaah haji yang datang dari kampung asal Zaid. Tanpa sengaja
mereka bertemu dengan Zaid yang saat itu sudah beranjak remaja. Setelah
meyakinkan diri bahwa pemuda yang mereka temui itu benar Zaid bin Haritsah,
mereka mengajak Zaid pulang sambil mengabarkan keadaan orang tuanya yang
menyedihkan sejak berpisah dengannya. Namun Zaid menolak dan mengatakan ingin
tetap tinggal di Mekah.
“Bukan aku tidak sayang dan rindu kepada mereka, tetapi di sini aku sudah memiliki orang tua baru yang sangat menyayangiku,” kata Zaid kepada rombongan dari kampung asalnya itu. ‘Aku hidup bahagia di sini. Tolong sampaikan keadaanku ini kepada ayah dan ibuku.”
Penjelasan dari Zaid itu membuat orang-orang sekampungnya penasaran. Siapa gerangan orang tua baru Zaid, sehingga Zaid tidak menginginkan kembali kepada ayah dan ibunya?
“Zaid, beri tahu kami, siapa orang tuamu di Mekah ini?” tanya mereka. “Muhammad al-Amin,” jawab Zaid.
Demi mendengar nama itu, mereka maklum. Siapa yang tidak kenal pemimpin Quraisy yang sangat terhormat itu?
Sepulang dari Mekah, rombongan itu menyampaikan kabar Zaid kepada Haritsah dan Su’da. Mendengar kabar itu, Haritsah segera bersiap-siap pergi ke Mekah. Dia berangkat bersama saudaranya. Mereka langsung menuju rumah Muhammad dan menyatakan maksudnya hendak meminta Zaid dan membawanya pulang.
“Wahai pemimpin Quraisy yang mulia, izinkahlah kami mengambil Zaid dari sisimu dan membawanya pulang.” Kata Haritsah.
“Kami mengerti perasaan Tuan,” jawab Muhammad, “namun alangkah baiknya kalau urusan ini kita kembalikan kepada yang bersangkutan. Biarkanlah Zaid yang memilih. Jika dia memilih tinggal bersamaku, maka aku tidak akan memberikan tebusan kepadamu. Sebaliknya jika dia memilih ikut bersamamu, aku juga tidak akan meminta tebusan darimu.”
“Bukan aku tidak sayang dan rindu kepada mereka, tetapi di sini aku sudah memiliki orang tua baru yang sangat menyayangiku,” kata Zaid kepada rombongan dari kampung asalnya itu. ‘Aku hidup bahagia di sini. Tolong sampaikan keadaanku ini kepada ayah dan ibuku.”
Penjelasan dari Zaid itu membuat orang-orang sekampungnya penasaran. Siapa gerangan orang tua baru Zaid, sehingga Zaid tidak menginginkan kembali kepada ayah dan ibunya?
“Zaid, beri tahu kami, siapa orang tuamu di Mekah ini?” tanya mereka. “Muhammad al-Amin,” jawab Zaid.
Demi mendengar nama itu, mereka maklum. Siapa yang tidak kenal pemimpin Quraisy yang sangat terhormat itu?
Sepulang dari Mekah, rombongan itu menyampaikan kabar Zaid kepada Haritsah dan Su’da. Mendengar kabar itu, Haritsah segera bersiap-siap pergi ke Mekah. Dia berangkat bersama saudaranya. Mereka langsung menuju rumah Muhammad dan menyatakan maksudnya hendak meminta Zaid dan membawanya pulang.
“Wahai pemimpin Quraisy yang mulia, izinkahlah kami mengambil Zaid dari sisimu dan membawanya pulang.” Kata Haritsah.
“Kami mengerti perasaan Tuan,” jawab Muhammad, “namun alangkah baiknya kalau urusan ini kita kembalikan kepada yang bersangkutan. Biarkanlah Zaid yang memilih. Jika dia memilih tinggal bersamaku, maka aku tidak akan memberikan tebusan kepadamu. Sebaliknya jika dia memilih ikut bersamamu, aku juga tidak akan meminta tebusan darimu.”
Lalu beliau memanggil
Zaid.
“Zaid, tahukah kamu, siapa kedua orang ini?” tanya beliau.
“Ya, saya tahu. Mereka adalah ayah dan paman saya.” Jawab Zaid.
“Mereka bermaksud mengajakmu pulang, tapi kami sepakat menyerahkan keputusannya kepadamu. Nah, sekarang berikanlah keputusanmu.”
“Zaid, tahukah kamu, siapa kedua orang ini?” tanya beliau.
“Ya, saya tahu. Mereka adalah ayah dan paman saya.” Jawab Zaid.
“Mereka bermaksud mengajakmu pulang, tapi kami sepakat menyerahkan keputusannya kepadamu. Nah, sekarang berikanlah keputusanmu.”
“Tentu saja saya
memilih Anda, wahai Muhammad. Anda adalah ayah sekaligus paman saya,” jawab
Zaid secara mengejutkan.
Seketika itu juga, Muhammad menggandeng tangan Zaid menuju halaman Kakbah yang luas. Di depan orang-orang Quraisy yang sedang berkumpul, Muhammad berseru, “Wahai penduduk Mekah, saksikanlah bahwa mulai saat ini Zaid adalah anakku. Dia akan menjadi ahli warisku dan aku akan menjadi ahli warisnya!”
Seketika itu juga, Muhammad menggandeng tangan Zaid menuju halaman Kakbah yang luas. Di depan orang-orang Quraisy yang sedang berkumpul, Muhammad berseru, “Wahai penduduk Mekah, saksikanlah bahwa mulai saat ini Zaid adalah anakku. Dia akan menjadi ahli warisku dan aku akan menjadi ahli warisnya!”
Sejak saat itu, Zaid
dikenal dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Kebahagiaan terpancar dari wajahnya.
Adapun Haritsah, dia sama sekali tidak sedih. Meskipun gagal membawa Zaid
pulang, dia bahagia melihat putranya diasuh oleh orang paling mulia di negeri
Arab.
Setelah Muhammad
menjadi rasul, Zaid menjadi orang kedua yang memeluk lslam setelah Khadijah ra.
Saat itu usia Zaid mencapai dua puluh tahun. Sejak itu, Zaid menjadi pendamping
Rasul yang sangat setia dan penuh pengabdian. Saat Rasulullah saw. mencari
suaka ke Thaif karena tekanan yang amat kuat dari kaum kafir Quraisy, Zaid
adalah pendampingnya. Dia ikut dilempari batu dan kotoran unta bersama
Rasulullah, sehingga tubuhnya penuh luka dan kotoran. Semua itu dilakukannya
dengan penuh keikhlasan dan cinta, sehingga Rasulullah saw. semakin menyayanginya.
Ketika Zaid sudah
dewasa, Rasulullah berniat menikahkannya dengan seorang perempuan. Rasulullah
lalu memilih Zainab binti Jahsyi, seorang bangsawan dan masih kerabat beliau
sendiri. Kehendak beliau itu ditolak oleh Zainab dan keluarganya. Mereka merasa
khawatir martabat mereka turun jika Zainab menikah dengan bekas budak. Namun
kemudian, Zainab sendiri memutuskan untuk menikah dengan Zaid meskipun dengan
agak terpaksa.
Setelah mereka menikah,
ternyata sifat Zainab tidak berubah. Dia tetap sombong dengan kebangsawanannya,
dan tidak mau bersikap baik layaknya seorang istri kepada suaminya. Zaid yang
merasa tidak nyaman dengan keadaan itu beberapa kali mengadu kepada Rasulullah.
Zaid meminta nasihat dan pertimbangan tentang kondisi rumah tangganya yang
kurang harmonis itu. Bahkan dia meminta izin untuk menceraikan Zainab. Tetapi
Nabi selalu menasihali Zaid agar bersabar.
“Hendaklah engkau takut
kepada Allah, wahai Zaid. Pertahankan istrimu, jangan ceraikan dia.” Begitu
selalu nasihat beliau setiap kali Zaid datang mengadu dan mengeluh tentang
keadaan keluarganya. Mendengar nasihat itu, Zaid mencoba bertahan. Namun
semakin lama dia semakin tidak tahan hidup bersama Zainab, karena istrinya itu
selalu bersikap angkuh kepadanya. Maka setelah tekadnya bulat, Zainab pun
diceraikannya. Tindakannya itu membuat Rasulullah merasa kasihan kepadanya.
Maka, Rasulullah kemudian mencarikan seorang perempuan lagi untuknya. Zaid lalu
dinikahkan dengan Ummu Kulsum binti Uqbah.
Ternyata pilihan
Rasulullah tidak salah. Dengan Ummu Kulsum, kehidupan rumah tangga Zaid
berjalan harmonis. Ummu Kulsum menerima Zaid apa adanya, sehingga mereka pun
hidup bahagia. Dari mereka lahirlah seorang putra yang diberi nama Usamah bin
Zaid, yang kelak menjadi panglima perang hebat seperti ayahnya.
Sementara itu Zainab,
setelah menjanda beberapa saat lamanya, dinikahi oleh Rasulullah sendiri. Hal
ini menimbulkan berbagai kecaman dan gunjingan dari penduduk Mekah. Mengapa
Nabi menikah dengan bekas istri anak angkatnya?
Padahal, dalam tradisi masyarakat Arab, kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung. Anak angkat boleh mewarisi ayah angkatnya, demikian juga sebaliknya, ayah angkat boleh mewarisi anak angkatnya. Oleh karena itu, istri yang telah dicerai anak angkat tidak boleh dinikahi oleh ayah angkatnya. Tapi mengapa Rasulullah melanggar tradisi itu?
Allah yang Maha bijaksana rupanya berkehendak menghapus tradisi jahiliah tersebut melalui sunah Rasul saw Diturunkan-Nya sebuah ayat sebagai hujjah bagi tindakan Rasulullah itu:
Padahal, dalam tradisi masyarakat Arab, kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung. Anak angkat boleh mewarisi ayah angkatnya, demikian juga sebaliknya, ayah angkat boleh mewarisi anak angkatnya. Oleh karena itu, istri yang telah dicerai anak angkat tidak boleh dinikahi oleh ayah angkatnya. Tapi mengapa Rasulullah melanggar tradisi itu?
Allah yang Maha bijaksana rupanya berkehendak menghapus tradisi jahiliah tersebut melalui sunah Rasul saw Diturunkan-Nya sebuah ayat sebagai hujjah bagi tindakan Rasulullah itu:
” Dan tiada puIa ia
menjadikan anak-anak angkat kamu sebagai anak kandungmu. Itu hanyalah
kata-katamu dengan mulut kamu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan
Dia menunjukkan jalan yang benar.” (Q.S. al-A!-rzab l33l: a)
Wahyu tersebut menegaskan bahwa kedudukan anak angkat tidaklah sama dengan anak kandung. lni berarti, anak angkat boleh menikah dengan bekas istri ayah angkatnya, dan ayah angkat boleh menikah dengan bekas isteri anak angkatnya.
Selain menurunkan ayat di atas, Allah juga menurunkan perintah langsung kepada Rasulullah agar menikahi Zainab, sebagai pelajaran bagi umat manusia tentang hukum menikahi bekas istri anak angkat. Perintah itu tercantum dalam Al-Qur’an:
Wahyu tersebut menegaskan bahwa kedudukan anak angkat tidaklah sama dengan anak kandung. lni berarti, anak angkat boleh menikah dengan bekas istri ayah angkatnya, dan ayah angkat boleh menikah dengan bekas isteri anak angkatnya.
Selain menurunkan ayat di atas, Allah juga menurunkan perintah langsung kepada Rasulullah agar menikahi Zainab, sebagai pelajaran bagi umat manusia tentang hukum menikahi bekas istri anak angkat. Perintah itu tercantum dalam Al-Qur’an:
“Maka, ketika Zaid
telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan
kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini)
istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah
menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan AIlah itu
pasti terjadi. ” (Q.S. al-Ahzab [33 ]:37) Ayat di atas secara tegas
memerintahkan Rasulullah untuk menikahi Zainab yang telah diceraikan oleh Zaid.
Ayat ini sekaligus menegaskan salah satu keistimewaan Zaid dibanding
sahabat-sahabat Nabi yang lain, yaitu penyebutan nama Zaid secara eksplisit
oleh Allah dalam Al-Qur’an.
Sejak turunnya dua ayat
yang menegaskan kedudukan anak angkat tersebut, Zaid kembali dikenal dengan
namanya semula, yaitu Zaid bin Haritsah. Masyarakat Mekah tidak lagi
menyebutnya Zaid bin Muhammad. Meskipun demikian, hubungan ayah-anak angkat di
antara mereka tetap terjalin. Nabi saw. tetap menyayan gi Zaid seperti semula,
demikian juga Zaid tetap mencintai beliau seperti sedia kala. Hubungan tersebut
kemudian melahirkan kepercayaan Nabi terhadap Zaid, terutama dalam urusan
kemiliteran.
Kepercayaan Rasulullah
itu tentu saja didukung oleh kepiawaian Zaid baik dalam olah senjata dan
ketangkasan berkuda maupun dalam strategi perang. Sejarah mencatat nama Zaid
sebagai salah seorang panglima perang yang hebat, sehingga dia menjadi salah
satu penglima kepercayaan Rasulullah. Tentang hal ini Aisyah ra. berkata,
“Setiap Rasulullah saw. mengirimkan suatu pasukan yang disertai oleh Zaid,
pastilah dia yang diangkat menjadi pemimpinnya. Seandainya dia masih hidup
sesudah Rasul, tentulah dia akan diangkatnya sebagai khalifah.”
Kepercayaan Rasulullah
kepada Zaid ini sangat beralasan mengingat integritas keimanannya yang tidak
mungkin diragukan serta karakternya yang pemberani. Semua itu adalah hasil
didikan beliau sendiri selama Zaid tinggal bersamanya. Di bawah bimbingan
beliaulah, Zaid tumbuh menjadi seorang mukmin yang mencintai Allah dan
Rasul-Nya di atas segalanya serta menjadikan surga sebagai pembuluh rindu,
sehingga baginya mati dalam berjihad dijalan Allah sebagai syahid adalah sebuah
impian.
Saat Romawi mengancam
kaum muslimin dengan dua ratus ribu tentaranya, Zaidlah yang diutus oleh
Rasulullah untuk menghadapi mereka. Bersama kurang lebih tiga ribu pasukannya,
Zaid berangkat dari Madinah dengan penuh keikhlasan dan tawakal.
“Kalian harus tunduk
kepada Zaid bin Haritsah sebagai panglima. Seandainya Zaid gugur, maka posisi
panglima akan dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib. Seandainya Ja’far gugur,
maka posisi panglima akan dipegang oleh Abdullah bin Rawahah.” Demikian pesan
Rasulullah sebelum pasukan muslimin berangkat menuju medan perang. Rasulullah
telah memperkirakan bahwa peperangan kali ini sangat berbahaya, sehingga beliau
merasa perlu menentukan tiga panglima sekaligus untuk memimpin pasukan muslimin
secara bergantian jika salah seorang dari mereka gugur.
Pasukan muslimin dan
tentara Romawi bertemu di sebuah tempat bernama Mu’tah. Jumlah tentara Romawi
yang sangat besar tidak menciutkan nyali Zaid dan pasukan muslimin. Dengan
gagah berani, Zaid menerjang di barisan paling depan sambil memberikan komando
dan meneriakkan takbir. Dengan tangkas dia mengendarai kuda dan bertempur
sambil memegang erat bendera perang pasukan muslimin. Zaid tidak menghiraukan
desingan anak panah serta tajamnya ujung tombak dan pedang musuh. Peperangan
yang tidak seimbang itu terkenal dengan sebutan perang Mu’tah. Pada peperangan
yang dahsyat itulah Zaid gugur sebagai syahid, menyongsong surga yang selalu
dirindukannya.
0 Response to "Zaid Bin Haritsah (Panglima Kesayangan Rasulullah Saw) "
Post a Comment
Orang yang Baik Selalu Meninggalkan Komentar walau Kritikan